Jumat, 08 November 2024

Nabi Muhammad dan Nilai Pelajarannya Naik ke Langit

Hari ini mainstream menilai bahwa bicara agama konotasinya adalah berbicara penyembahan kepada Sang Pencipta. Manusia meletakkan agama hanya sebagai tempat berkeluh kesah atas kesalahan dan memohon kemudahan atas perolehan kesenangan dunia untuk mendapatkan. Sehingga ruang kendalinya sangatlah sempit dan berada di lokasi tertentu serta waktu yang terbatas. Wajar saja hari ini kita menyaksikan orang yang mengaku beragama justru menjadi pelopor atas kesalahan. Sudah saatnya ada yang meluruskan dengan segala kekeliruan akan pemahaman, agar tidak terjadi pembenaran kesalahan atas nama agama yang berkepanjangan.

Cerita perjalanan Nabi Muhammad naik ke langit menjadi kisah yang melatarbelakangi penyembahan itu dilakukan, terlepas benar atau tidaknya berita tersebut, mari duduk bersama untuk membahas pesan apa yang utama dari perjalanannya naik ke langit?. Adakah rahasia dibalik perintah sholat yang kita abaikan?. Apakah cukup kita memperoleh kemuliaan hidup hanya dengan ritualitas sholat yang dilakukan?. Beberapa pertanyaan ini akan membuka kesadaran kita, bahwa ada rahasia besar dibalik perintah sholat yang luput dari kehidupan. Kita hanya sibuk menyembahnya tapi kita tidak mengabdi kepada-Nya. Kita hanya banyak menyebut namanya tetapi tidak mengingat pesan dibalik nama-nama-Nya.  Itulah keseharian cara ibadah penganut agama.

Tuhan Semesta Alam memang butuh pengakuan, tetapi bukan hanya mengaku saja tanpa pembuktian. Jika hanya mengaku-ngaku maka anak kecil sudah sering melakukan, jadi sudah saatnya kita memahami apa yang diperintahkan-Nya atas manusia. Agar amal ibadah tidak menjadi sia-sia.

Secara etimologi sholat bermakna hubungan, komunikasi. Hubungan yang dapat mendatangkan kedamaian dan ketentraman bagi yang melakukan. Secara personal mungkin beberapa orang akan merasakan manfaat dari tujuan hubungan ini, namun secara komunal sudahkah terbukti?. Kedamaian itu bisa tercipta ketika ada aturan yang ditaati, kalau sekedar mengucapkan atau menyebut saja tanpa ada pembuktian diluar waktu tersebut mustahil tercipta keharmonisan dalam kehidupan. Apakah komunikasi kita sebatas demikian atau ada yang harus ditegakkan?

Perintah sholat selalu menggunakan kata kerja "aqimuu" dalam seruannya, yang artinya adalah tegakkanlah. Bukan "af'aluu" yang artinya laksanakanlah, itu maknanya ada diksi yang harus dibangun, didirikan. Bukan berhenti hanya pada level teori, konsep atau sekedar ucapan. Analogi sederhananya kita bisa gunakan aturan dalam berlalu lintas, ketika lampu merah diperempatan hanya dilihat (dibaca) saja tanpa dita'ati (ditegakkan) oleh pengguna jalan, maka pasti akan terjadi kekacauan. Itulah fakta yang ada hari ini, ketika orang melaksanakan sholat tapi tidak menegakkannya.

Untuk lebih menguatkan argumen ini, mari kita renungkan firman Tuhan yang ada dalam Kitab Suci Al-Qur'an pada surat Al-'Ankabut ayat 45:

اُتْلُ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَ قِمِ الصَّلٰوةَ   ۗاِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَا لْمُنْكَرِۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ  ۗوَا للّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan tegakkanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."

Membaca kitab tentunya bukan membunyikan huruf tetapi menjadikan apa yang kita baca sebagai guidance dalam hidup ini. Al-Qur'an adalah sumber petunjuk bagi manusia, tentunya tidak akan merubah apapun ketika sekedar dibaca-baca saja. Apa yang ada didalamnya harus ditegakkan/ditaati dalam keseharian. Dengan cara ini barulah kita dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar dalam berhubungan. Tatkala anda ingin melakukan kejahatan, maka anda mengingat Dia  dalam aturan yang sudah ditetapkan.

Dari penjelasan singkat tentang esensi perintah sholat. Tibalah kita pada kesimpulan, ajaran siapakah yang dijadikan Nabi Muhammad sebagai uswah teladan?. Mungkinkah dia membawa ajaran baru atau melanjutkan apa yang sudah diwariskan Para Nabi dan Rasul sebelumnya?. Sebagai jawaban atas kedua pertanyaan diatas, mari kita renungkan firman Tuhan dalam surat An-Nahl (16) ayat 123 berikut ini.

ثُمَّ اَوْحَيْنَاۤ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًاۗوَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ

"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik."

Ayat yang pendek ini memberikan jawaban sekaligus penegasan. Bahwa, Nabi Muhammad adalah pengikut ajarannya Ibrahim yang sudah diwariskan kepada Ismail, Bani kedar sampai dengan Muhammad. Itu artinya Nabi Muhammad, Nabi Isa, dan Nabi Musa membawa ajaran/agama yang sama, tidak berganti, tidak menyimpang atau tidak berubah. Apa yang mereka yakini, apa yang mereka perjuangkan adalah sama, lalu pertanyaannya kenapa pengikut masing-masing ajaran tersebut berbeda saat ini?. Silahkan menjawabnya dengan argumentasi yang kuat berdasarkan sejarah yang ada di Kitab Suci.

 

Penulis:

Michael Zahid Aditya

Serpihan petuah

 Serpihan petuah    Berdasarkan kajian surat Asy Syu'ara' ayat 198 sampai 200  saya berani menyimpulkan bahwa kitalah dari bangsa Nu...