Hari ini mainstream menilai bahwa bicara agama konotasinya adalah berbicara penyembahan kepada Sang Pencipta. Manusia meletakkan agama hanya sebagai tempat berkeluh kesah atas kesalahan dan memohon kemudahan atas perolehan kesenangan dunia untuk mendapatkan. Sehingga ruang kendalinya sangatlah sempit dan berada di lokasi tertentu serta waktu yang terbatas. Wajar saja hari ini kita menyaksikan orang yang mengaku beragama justru menjadi pelopor atas kesalahan. Sudah saatnya ada yang meluruskan dengan segala kekeliruan akan pemahaman, agar tidak terjadi pembenaran kesalahan atas nama agama yang berkepanjangan.
Cerita perjalanan Nabi Muhammad naik ke langit menjadi kisah yang
melatarbelakangi penyembahan itu dilakukan, terlepas benar atau tidaknya berita
tersebut, mari duduk bersama untuk membahas pesan apa yang utama dari
perjalanannya naik ke langit?. Adakah rahasia dibalik perintah sholat yang kita
abaikan?. Apakah cukup kita memperoleh kemuliaan hidup hanya dengan ritualitas
sholat yang dilakukan?. Beberapa pertanyaan ini akan membuka kesadaran kita,
bahwa ada rahasia besar dibalik perintah sholat yang luput dari kehidupan. Kita
hanya sibuk menyembahnya tapi kita tidak mengabdi kepada-Nya. Kita hanya banyak
menyebut namanya tetapi tidak mengingat pesan dibalik nama-nama-Nya. Itulah
keseharian cara ibadah penganut agama.
Tuhan Semesta Alam memang
butuh pengakuan, tetapi bukan hanya mengaku saja tanpa pembuktian. Jika hanya
mengaku-ngaku maka anak kecil sudah sering melakukan, jadi sudah saatnya kita
memahami apa yang diperintahkan-Nya atas manusia. Agar amal ibadah tidak
menjadi sia-sia.
Secara
etimologi sholat bermakna hubungan, komunikasi. Hubungan yang dapat
mendatangkan kedamaian dan ketentraman bagi yang melakukan. Secara personal
mungkin beberapa orang akan merasakan manfaat dari tujuan hubungan ini, namun
secara komunal sudahkah terbukti?. Kedamaian itu bisa tercipta ketika ada
aturan yang ditaati, kalau sekedar mengucapkan atau menyebut saja tanpa ada
pembuktian diluar waktu tersebut mustahil tercipta keharmonisan dalam kehidupan.
Apakah komunikasi kita sebatas demikian atau ada yang harus ditegakkan?
Perintah sholat selalu menggunakan kata kerja "aqimuu" dalam seruannya, yang artinya adalah tegakkanlah. Bukan "af'aluu" yang artinya laksanakanlah, itu maknanya ada diksi yang harus dibangun, didirikan. Bukan berhenti hanya pada level teori, konsep atau sekedar ucapan. Analogi sederhananya kita bisa gunakan aturan dalam berlalu lintas, ketika lampu merah diperempatan hanya dilihat (dibaca) saja tanpa dita'ati (ditegakkan) oleh pengguna jalan, maka pasti akan terjadi kekacauan. Itulah fakta yang ada hari ini, ketika orang melaksanakan sholat tapi tidak menegakkannya.
Untuk
lebih menguatkan argumen ini, mari kita renungkan firman Tuhan yang ada dalam
Kitab Suci Al-Qur'an pada surat Al-'Ankabut ayat 45:
اُتْلُ مَاۤ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَ قِمِ الصَّلٰوةَ ۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَآءِ وَا لْمُنْكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗ وَا للّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
"Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan tegakkanlah sholat. Sesungguhnya sholat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (sholat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan."
Membaca kitab tentunya bukan membunyikan huruf tetapi menjadikan apa yang kita baca sebagai guidance dalam hidup ini. Al-Qur'an adalah sumber petunjuk bagi manusia, tentunya tidak akan merubah apapun ketika sekedar dibaca-baca saja. Apa yang ada didalamnya harus ditegakkan/ditaati dalam keseharian. Dengan cara ini barulah kita dapat mencegah perbuatan keji dan mungkar dalam berhubungan. Tatkala anda ingin melakukan kejahatan, maka anda mengingat Dia dalam aturan yang sudah ditetapkan.
Dari
penjelasan singkat tentang esensi perintah sholat. Tibalah kita pada
kesimpulan, ajaran siapakah yang dijadikan Nabi Muhammad sebagai uswah
teladan?. Mungkinkah dia membawa ajaran baru atau melanjutkan apa yang sudah
diwariskan Para Nabi dan Rasul sebelumnya?. Sebagai jawaban atas kedua
pertanyaan diatas, mari kita renungkan firman Tuhan dalam surat An-Nahl (16)
ayat 123 berikut ini.
ثُمَّ اَوْحَيْنَاۤ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗ وَمَا كَا نَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik."
Ayat
yang pendek ini memberikan jawaban sekaligus penegasan. Bahwa, Nabi Muhammad
adalah pengikut ajarannya Ibrahim yang sudah diwariskan kepada Ismail, Bani
kedar sampai dengan Muhammad. Itu artinya Nabi Muhammad, Nabi Isa, dan Nabi
Musa membawa ajaran/agama yang sama, tidak berganti, tidak menyimpang atau
tidak berubah. Apa yang mereka yakini, apa yang mereka perjuangkan adalah sama,
lalu pertanyaannya kenapa pengikut masing-masing ajaran tersebut berbeda saat
ini?. Silahkan menjawabnya dengan argumentasi yang kuat berdasarkan sejarah
yang ada di Kitab Suci.
Penulis:
Michael
Zahid Aditya