SANG RATU ADIL
JALAN KESELAMATAN MENUJU NUSANTARA JAYA
Oleh:
Afatar Budak Angon
Abstrak
Menyebut Nusantara berarti merujuk pada wilayah kepulauan
prakolonial yang menjadi cikal bakal Negara Republik Indonesia kini. Negara
dengan jumlah penduduk lebih dari 273,87 juta jiwa ini merupakan negara
kepulauan yang terbesar di dunia yang terdiri dari 17.504 pulau (termasuk 9.634
pulau yang belum diberi nama dan 6.000 pulau yang tidak berpenghuni). Tanah
yang subur dan kaya, terletak diantara dua benua dan dua samudra besar itu
diperkaya oleh keanekaragaman suku, etnis, agama, bahasa dan adat istiadat. Tak
ada yang menyangkal bahwa posisi geografis dan geopolitik bangsa Nussantara
sangatlah strategis. Tidak heran jika banyak bangsa-bangsa lain didunia ingin
meguasai Taman Surga Nusantara ini, sejak dahulu hingga kini.
Pada masa lampau Bangsa Nusantara merupakan satu entitas
kerajaan politik yang gilang gemilang, hanya saja seiring perjalanan waktu dan
hukum baja peradaban, elemen kekuatan yang dimiliki bangsa ini sirna satu demi
satu. Barisan pertahana alamnya mampu ditaklukkan dengan kecanggihan teknologi
dan kedigdayaan manusianya mampu dilemahkan dengan ideologi jahat. Kehancuran
peradaban bangsa itu meninggalkan bekas luka yang masih terlihat jelas pada
setiap insan Nusantara hingga hari ini. Rasa inferior atau rendah diri atas
bangsa-bangsa luar, Timur ataupun Barat, turut melanggengkan hawa imperialisme.
Sistem politik dan pemerintahan, serta sistem-sistem “kiriman” yang sekarang
berlaku benar-benar menenggelamkan segala potensi agung bangsa maritim ini.
Wajar jika hari ini manusia-manusia maritim ini memiliki
mimpi yang sama, yakni kembalinya kejayaan Nusantara dibawah pandu Sang Ratu
Adil. Kejayaan Nusantara ini sejalan dengan nubuatan para nabi akan kebangkitan
peradaban baru di akhir zaman yang berada dinegeri sebelah Timur, yakni
Nusantara. Nubuatan ini juga diperkuat oleh nubuatan dalam kitab-kitab karya
para leluhurNusantara. Mulai dari Jangka jayabaya, ramalan Sabda
Palon-nayogenggong, Serat Darmogandul, Uga wangsit Siliwangi, hingga ramalan
Ronggowarsito tentang Satrio Piningit, yang kesemuanya berbicara akan “berita
gembira” tentang akan datangnya kebangkitan dan kejayaan Nusantara sebagai
Mercusuar Dunia menjadi Negeri yang damai sejahtera, berdasarkan nilai-nilai
Keenaran Universal yang bersumber dari Tuan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa.
Jika hari ini banyak orang mulai membicarakan hal tersebut, karena memang
kondisi alamnya sudah sangat mendukung, dan waktunya sudah dekat.
Keyword: satrio Piningit, Ratu Adil, Mesias, Millah Abraham, Brahmana.
A. A. Pengantar
Sudah menjadi kepastian di muka bumi ini bahwa semua makluk
hidup pasti akanmati. Kematian adalah takdir seluruh mahluk, segala sesuatu
yang dilahirkan pasti akan menemui kematiannya. Tidak ada satupun manusia
didunia ini, sejak zaman asali, yang hidup abadi. Setiao insan Sang Pencipta
ciptakan melalui proses ilmiah dan alamiah, serta terikat oleh hukum alam. Ada
waktunya ia dilahirkan ada ada kalanya ia dimatikan, semuanya telah Dia
tentukan kadar atasnya.
Sebagaiman mahluk hewani yang memiliki usia biologis, koloni
sosial manusia dan peradabannya pun memiliki ajal. Ketika sekelompok manusia
bersepakat untuk bekerja sama demi tujuan yang sama dan menyatakannya di
hadapan kelompok lainnya, saat itulah mereka dikatakan “lahir”. Dan ketika
kelompok itu berpatah arah dan berpecah-belah, maka pada saat itulah mereka
dikatakan “mati”. Umat atau bangsa yang pernah lahir, sudah barang tentu akan
menemui ajalnya. Dan hanya dengan cara itulah kehidupan bumi ini akan seimbang,
silah berganti antara peradaban malam dan terang.
Hari ini kita tengah hidup dalam gelap malam dan menyaksikan
zaman edan. Zaman ketika manusia jelata serba susah bertindak meski itu hanya
untuk mempertahankan hidupnya. Jika tidak ikut gila tidak akan tahan dan tidak
akan mendapat bagian, meski tetap kelaparan dan kematian pada akhirnya. Yang
demikian itu dapat terjadi karena orang-orang yang hidup dalam gelap tak mampu
melihat bagaimana cara menjalani hidup dan kehidupan dengan benar sesuai kehendak Sang Pencipta.
Konsisi kehidupan masayrakat, bangsa, dan negara yang makin
terpuruk sebab ketiadaan teladan. Kebanyakan manusia tidak lagi berpegang pada
nilai-nilai luhur Sang Pencipta. Para umara dan ‘ulama justru hanyut terbawa
arus zaman yang penuh kezaliman dan kemunafikan. Dunia makin mencekam, manusia
hidup dalam bayang-bayang kebinasaan dan dikelilingi masalah yang tak kunjung
reda.
Inilah zaman yang dalam serat ramalan Jayabaya digambarkan
“Ukuman ratu ora adil, akeh pankat jabat-jabil, kelauan padha ganjil, sing apik
padha kepencil, akarya apik manungsa isim, luwih utama ngapusi”. Yang
diterjemahkan; “Hukuman raja tidak adil, anyak yang berpangkat, jahat dan
jahil, tingkah lakunya semua ganjil, yang baik terkucil, berbuat baik manusia
pada malu, lebih baik menipu.
Bayaknya “orang baik” tak cukup mampu membawa kebaikan bagi
khalayak ramai. Keserakahan individu dan kelompok kecil orang-orang kaya yang
berkuasa membawa kehidupan sebuah bangsa makin masuk kedalam kelabendu,
zaman penuh kesengsaraan. Banyak harapan diberikan pangarsa, tetapi tak
satupin terwujud, kecuali pohon-pohon yang hanya berbuah masalah.
Bagaimana bisa tidak berbuah masalah jika kemajuan sains dan
teknologi dengan berbagai kemudahannya pun membawa umat manusia kepada
kepunahan. Banyak manusia hari ini yang mati karena kelebihan makan, alih-alih
karena kekurangan makan (kelaparan). Apa yang akan kita wariskan kepada
generasi pelanjut jika gawai dan kecerdasan buatan, Arficial Intelligence (AI)
lebih mengenal seorang anak dibandingkan orang tuanya sendiri? Sudah banyak
“tuhan’ yang umat manusia mohonkan petunjuk menuju kebahagian dan keabadian,
tetapi tak kunjung tibaa pada kesudahannya.
Kehidupan umat manusia hendaknya selaras dengan pengabdian
alam kepada Yang Mahakuasa. Manusia dicipta untuk hidup dan mengabdi, tunduk
patuh pada kehendak dan rencana Tuhan Yang Maha Esa. Langit dan Bumi, serta
apa-apa yang berada di antara eduanya bergantung dan bertanggung jawab kepada
Sang Pencipta. Oleh karena itu, betapa pun beruntung orang yang lalai, akan
lebih beruntung orang yang tetap ingat dan waspada, bahwa tidak ada Tuan yang
manusia patuhi selain Tuan Semesta Alam, Gusti Nu Agung.
Anak-anak Nusantara ini harus bersatu dengan kembali kepada
satu-satunya Tuan Semesta Alam, Tuhan Yang Maha Esa. Hanya Dialah Pusat
kecerdasan spirituak bagi manusia untuk melandasi kecerdasan emosi dan
intelektualnya untuk menyelesaikan setiap permasalahan kehidupan sosial umat
manusia.
Manusi yang cerdas secara intektual, emosional, dan spiritual
merupakan bahan baku bagi lahirnya kesatria atau pejuang yang sanggup berkorban
harta dan diri untuk mengabdikan diri hanya kepada-Nya dengan memperhatikan dan
mengutamakan hak hidup banyak orang. Sebelum fajar tiba, pejuang itu akan
membangunkan banyak orang dan membawa merka demi menyambut terbitnya sang
surya.
Semua malam pasti akan berganti siang. Ia bergiliran dan
saling berlawanan, tetapi berjalan selaras. Kosmologi ini menyeratkan bahwa
jika ada keburukan, pasti aka kebaikan. Setiap keadaan tidak akan terus
berjalan demikian seterusnya tanpa adanya “ergantian”. Oleh karena itu,
karut-marutnya kondiri bangsa Nusantara dan dunia hari ini pun kelak akan
berganti dengan zaman pencerahan.
Kekacauan hidup, ketidak adilan dan kezaliman itu
sesungguhnya adalah prakondisi suatu bangsa menjelang kehadiran Sang Ratu Adil.
Siapa atau apakah dia? Bagaimana karakteristik ratu Adil sehingga dia diyakini
banyak orang bahwa ia benar-benar akan datang untuk menebus kalabendu
(zaman kegelapan) menjadi zaman kalasuha (zaman pencerahan)?
B. B. Datangnya Ratu Adil
Istilah Ratu Adil sudah jamak terdengar sejak zaman
penjajahan. Dahulu, pangeran Dipanegara juga disebut-sebut dan dianggap sebagai
Ratu Adil karena memang kondisi kehidupan rakyat saat itu mencekam dibawah
cengkraman kolonialis. Mereka hidup dalam kecemasan, keputus-asaan, dan tidak
tahu arah. Kehadiran Pangeran Dipanegara memupuk harapan rakyat akan hidup
dalam damai dan sejahtera.
Sebuah gerakan pemberontakan pada zaman Presiden Soekarnopun
juga menggunakan nama Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) untuk meraih dukungan
rakyat. Gerakan tersebut didalangi oleh Westerling, seorang Belanda yang
memecah-belah kesatuan Republik Indonesia.
Setiap kehidupan masyarakat Indonesia berada dalam
ketimpangan, wacana kemunculan Ratu Adil dan berakhirnya zaman edan kembali
dielu-elukan. Yang demikian itu dimungkinkan karena secara umum, setiap
kelompok manusia didunia pun percaya bahwa ketika peradaban umat manusia berada
diambang kehancuran, niscaya akan hadir anak manusia yang mampu mengembalikan
kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
Bansa Nusantara sejak dahulu kala sudah menjadi persimpangan
strategis dan menjadi titik temu antar bangsa-bangsa besar di dunia. Karenanya,
bangsa yang sudah kaya ini makin kaya akan nilai-nilai peradaban, dari Barat,
Timur, dan Timur Tengah yang kesemuanya memiliki benag merah sebab pada
dasaranya sumber kebenaran hanyalah satu.
Wacana tentang pembawa keselamatan hidup bertemu pada titik
kesepakatan bahwa ia membawa satu ajaran”agama budi”, kawruh budi,atau
akhlak mulia, yang akan membebasakan manusia dari penindasan. Namun, sesuatu
yang mulia itu akan membawa umat manusia kepada kemuliaan apabila ia disematkan
pada satu gerakan komunitas yang mulia pula.
Dengan demikian, Ratu Adil sejatinya merupakan perseonifikasi
dari satu komunitas yang mampu menyatukan umat manusia dan mengeluarkannya dari
zaman kegelapan menuju zaman terang. Dialah yang akan memimpin umat manusia dan
menghapuskan berbagai penindasan, ketidakadilan, dan kesengsaraan. Ratu Adil
adalah solusi kepemimpinan umat.
Selain Ratu Adil, berbagai sebutan bagi sosok pemimpin yang
jujur, adil, bijak, dan bestari diantaranya Satria Piningit, Al Mahdi, Imam
Mahdi, Almasih, Avatar, Milleanarian, Sang Juru Selamat, Mashiach, Messiah,
Kristos, dan Mesias. Ratu Adil juga disebut sebagai Herucakra, yakni
payung mustika sebagai perlambang atas perlindungan, pengayoman, persaudaraan,
atau pelayanan. Ratu Adil atau yang juga bisa disebut Mesias adalah tokoh
pembebas dan pencerah bangsa Nusantara.
C. C. Mesias; Sang Pembebas
Sebagai sebuah proses untuk menuju hasil, diperlukan syarat
untuk mewujudkannya. Seorang pemimpin harus memiliki kecerdasan spiritual,
emosional, dan inteligensi. Satria Piningit dan ratu Adil akan hadir sebagai
pemimpin dan kepemimpinan yang piawai dalam memerintah dan mendamai
sejahterakan dunia. Sosok pemimpin inilah yang dalam beberapa budaya bangsa
disebut sebagai mesias, dan gerakannya disebut dengan mesianik.
Sepanjang sejarah peradaban manusia di dunia, banyak orang
yang menganggap diri sebagai Mesias. Beberapa di antaranya Namrodz, Fir’aun,
Herodes, Abu Jahal, Hammurabi, Leonidas, Hannibal Barca, Julius Caesar, Konstantin,
Attila, Genghis Khan, Saladin, Elizabeth, dan napoleon. Mereka termasuk
orang-orang yang berhasil meyakinkan orang bayak untuk ikut berperang dan mati
dalam naa suku, bangsa, negara, dan bahkan untuk namanya pribadi.
Benang merah yang dapat ditarik dari visi isi tokoh-tokoh
sejarah peradaban dunia itu dengan karakter seorang mesias ialah bahwa sama
sekali berbeda dari kehidupan sebelumnya. Perkara nilai-nilai asasi yang
dijadikan pengikat antarpersonal dalam komunitas mesianik itu sangat tergantung
ruh dari the founding father-nya.
Konsep mesianik pada hakitnya adalah sebuah konsep
pembebasan. Konsep ini percaya bahwa Ratu Adil akan membawa rakyat atau umat
kepada arah yang lebih baik, kehidupan surgawi di bumi. Konsep kepercayaan ini
muncul ketika sebuah kelompok masyrarakat ditimpa gejolak-gejolak dan bencana
yang mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan. Akibatnya, mereka bermimpi
atau merindukan datangnya kembali satu bentuk kehidupan yang penuh kedamaian,
keadilan dan kemakmuran sebagaimana kisah-kisah dalam literatur leluhurnya.
Konsep tetap akan tinggal di ruang hampa jika tidak ada satu
pun seorang anak manusia dan kelompoknya yang berusaha dengan sungguh-sungguh
melakukan peekrjaan-pekerjaan mesianik. Pada dasarnya, siapa saja berhak untuk
mengaku diri sebgai Ratu Adil. Akan tetapi, benar atau tidaknya pengakuan itu
dapat kita seksikan bersama melalu pekerjaan-pekerjaan yang dilakukanya.
Untuk dapat menyaksikan Ratu Adil sejati yang akan hadir di
tengah-tengah bangsa ini, kita harus
mengetahui generasi-generasi pendahulu bangsa kita hari ini. Setidaknya kita
mesti menurut linimasa sejarah Indonesia 17 Agustus 1945, Sumpaj Pemuda 1928,
Budi Utomo 1908, Kingdom of Nederland 1800, bubarnya VOC 1799, Perjanjian
Giyanti 1755, Pajajaran Runtag 1679, Penaklukan Sunda Kelapa 1528, Sunda Galuh 669,
Tarumanagara, Salaka Nagara, Ajisaka tahun 78 dan lain sebagainya. Dengan
menapaktilasi lintasan sejarahleluhur bangsa dengan perspektif kebenaran
universal, kita akan menyaksikan bahwa pergantian peradaban dan kekuasaan itu
ibarat pergantian malam dan siang.
Satria Piningit atau Mesias sebagai pembawa kehidupan zaman
terang (siang) itu kehadirannya dibenci, tetapi sesungguhnya ia dirindukan. Ia
muncul di muka bumi dengan membawa nilai kebangkitan peradaban umat manusia.
Nilai-Nilai yang diajarkan Mesias di sepanjang zaman selalu berasaskan
kebenaran universal, sarat akan norma-norma peradaban yang penuh cinta dan
kasih sayang serta akhlak manusia.
Dengan konsepsi kebenaran universal itu, Mesias akan membawa
manusia kepada tingkatan kesadaran tertingginya, yakni sebagai manusia
paripurna; hamba sejati dari Sang Pencipta. Manusia-manusia bentukan Mesias
itulah yang akan menjadi motor kebangkitan peradaban umat manusia di bumi
Nusantara.
Hanya saja, motor tidak akan dapat melaju kencang jika tidak
diisi dengan bahan bakar yang benar. Manusia-manusia paripurna itu harus
benar-benar memahami tentang ajaran kebenaran universal dan bangaimana para
pendahulunya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan mesianik hingga berujung pada
keenangan dan terwujudnya kehidupan damai sejahtera. Oleh karena itu, proyeksi
Ratu Adil dan kebangkitan peradaban umat manusia di Nusantara tidak dapat
dilepaskan dari tradisi mesianik pada masa lampau di penjuru bumi yang lain,
yang bukan di barat dan bukan pula di timur.
Nabi Muhammad, Yesus, dan Musa adalah tiga tokoh fenomenal
dalam sejarah yang tidak dapat disangkal kebesarannya. Suka ataupun tidak,
cahaya (ajaran) yang dulu mereka sapaikan hari ini masih berpendar-pendar di
setiap jengkal tanah di bumi, termasuk dominasinya di Nusantara. Ketiga nama
besar tersebt sebenarnya hanya mencontoh dan mengikuti jalan hidup (millah)
yang dahulu Nabi Ibrahim, Bapak para Nabi, ajarkan. Jadi, jika bangsa Nusantara
ini ingin mendamaisejahterakan umat manusia, menguasai dunia, dan menjadi
mercusuar dunia, caranya mudah: Ikutilah millah Abraham yang benar, niscaya ia
akan membawamu kepada kehidupan rahmatan lil ‘alami.
D. D. Millah Abraham: Kereta Kencana Sang
Ratu Adil
Abram atau Abraham adalah salah satu tokoh sentral dalam
sejarah peradaban diwilayah Timur Tengah. Abraham (Arab: Irahim) meniliki nama
asli Abram (ibrani) atau Avran (Tiberias) yang berarti bapak yang
terpuji atau bapak yang dimuliakan. Abraham adalah seorang patriark
terkemuka, sosok teladan, dan pewarta ajaran kebenaran universal, dan seorang monoteis
sejati. Darinya, lahirlah tiga agama besar dunia yang hari ini diyakini.
Pada ranah spiritual, terhampar nilai-nilai monoteis yang
sejalan dengan jalan hidup Abraham. Dari catatan sejarah peniaga Cina dari Abat
V Masehi dikatakan bahwa “Agama Brahman” sangat berkembang di Nusantara. Dalam
beberapa hal, entitas Abraham dan Brahma
memang berkaitan erat. Salah satu istri Abraham bernama Sarah, sementara
Barahma memiliki pasangan bernama Saraswati. Bahkan, menurut studi filologi pun
Abraham atau Brahma berasal dari akan kata yang sama dan pada kenyataanya dua
nama itu melekat pada itu melekat pada
satu orang yan sama.
Kisah-kisah yang serupa dengan perjalanan spiritual Abraham
terdapat juga dalam sumber-sumber kitab
keagamaan di dunia. Kitab Rig Veda, misalnya, yang merupakan kitab
keagamaan tertua di antara keempat Kitab Veda memiliki kemiripan dengan kisah
Raja-raja Babilon Purba.
Satu hal yang utama, baik Abraham maupun Brahma sama-sama
mengajarkan ajaran atau keyakinan yang sama,, yakni ajaran tauhid atau
monoteisme, bahwa hanya ada satu tuan yang berhak diabdi, Dailah Allah, Sangyang
Widhi.
Keyakinan dengan corak monoteisme tersebut memiliki
penyebutan yang berbeda-beda, diantaranya: Kapitayan, Sunda Wiwitan, Kejawen,
Kaharingan, Tjilik Riwut, Ugano Malim atau nama apa pun yang disematkan (paksa)
kepada mereka. Para penjajah, dengan seenak perutnya sendiri, melabeli bahkan
membatasi apa yang harus bangsa Nusantara percaya dan yakini. Sekalipun mereka
percaya dan iman kepada Keesaan Tuhan , tetapi jika mereka ttidak “memeluk”
agama resmi yang telah disediakan, mereka akan dikatakan sebagai kelompok
penghayat kepercayaan yang seolah-olah tidak mengenal ajaran tauhid. Bahkan,
penyebutan “agama asli” atau “agama lokal” Nusantara sebagai praktik penyembahan
berhala (animisme-dinamisme) disematkan secara paksa. Oleh karena itu, artefak
dan selaku bangsa Nusantara yang sejatinya menggambarkan (simbol) keyakinan
tauhid dikatakan sebagai berhala.
Sejatinya manusia adalah mahluk simbol. Dalam perspektif semiotika
atau ilmu simbol, manusia dan alam semesta secara prinsip pun adalah bagian
dari simbol atas eksistensi Sang Pencipta. Kemiripan simbol-simbol-baik itu
berupa objek utama dalam kajian semioytika terkait hubungan antara Abraham dan
Brahmana di Nusantara.
Dalam ajaran leluhur bangsa Nusantara, Abraham atau Brahma
merupakan sandi-kala; time-cod: atau penanda masa dalam pribadi manusia,
pradaban manusia, dan peradaban semesta. Siklus kehidupan bumi yang diakibatkan
oleh pergeseran waktu pun dapat dibaca melalui pola sandi-kala tersebut.
Perhitungan kehancuran bumi yang dilakukan para leluhur Nusantara, misalnya,
sudah berulangkali terjadi dalam sejarah peradaban umat manusia. Kemampuan
“meramal” (melihat sesatu yang belu terjadi atau ghaib) bangsa Nusantara bukanlah hasil imajinasi tanpa
dasar ilmu, melainkan kemampuan membaca pola pergiliran peradaban yang sudah
pernah terjadi dan akan terus terulang
kembali. Dalam konteks itulah kata Brahma (dalam sandi lain disebut juga
daksina; selatan; atau merah) digunakan sebagai penanda peradaban
manusia, dari awal hingga akhir (puncak)-nya.
Dalam konteks yang sama, Sri maharaja Sang Mapanji Jayabhaya
Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama
Uttunggadewa-dialah aja Kediri yang lebih dikenal dengan Prabu Jayabaya,
menuliskan ramalannya tentang periodisasi peradaban yang dibaginya dalam tiga
babak. Menurut bacaannya, Nusantara akan tiba pada masa keemasan (kalasuha)
setelah melewati masa permulaan (kalawisesa) dan masa kekacauan (kalabendu).
Narasi ramalan jayabaya secara singkat dapat diuraikan bahwa
akan datang satu masa penuh bencana. Gunung-gunung akan meletus, bumi
berguncang-guncang, laut dan sungai, akan meluap. Ini akan menjadi kalabendu,
masa kesewenang-wenangan dan
ketidakpedulian. Masa orang-orang licik berkuasa, da orang-orang baik akan
tertindas. Akan tetapi, setelah masa yang paling berat itu, akan datang zaman
baru, zaman yang penuh kemegahan dan kemuliaan. Dan zaman baru itu akan lahir
setelah datangnya Sang Ratu Adil.
Ramalan Jayabaya banyak dijadikan referensi pijakan oleh para
pengusung gerakan mesianik di Nusantara, salah satunya Soekarno. Dalam satu
pidatonya, Sang Proklamator itu berkata. “Tuan-tuan Hakim, apakah sebabnya
rakyat senantiasa percaya dan menunggu-nunggu datangnya “Ratu Adil”, apakah
sebabnya sabda Prabu jayabaya sampai hari ini masih terus menyalakan harapan
rakyat? Tak lain ialah karena hati rakyat yang menangis itu, tak habis-habisnya
menunggu-nunggu, mengharap-harapkan datangnya pertolongan. Sebagaimana orang
yang dalam kegelapan, tak henti-hentinya menunggu-nunggu dan mengharap-harap
‘kapan, kapankah Matahari terbit?’. “
E. E. Kalasuba Nusantara
Pasang surut pergerakan mesianik di Nusantara-dengan penamaan
dan kulturnya masing-masing, tidak pernah benar-benar paham. Betapa pun
represifnya penguasa terhadap gerakan pembebasan rakyat, maka akan berlaku patah
tumbuh hilang berganti.
Keutamaan jalan hidup (millah) Abraham adalah nilai-nilai
kebenaran universal. Nilai-nilai tersebut Allah bahasakan dengan bahasa amsal
dan personifikasi untuk memudahkan para pencari kebenaran sejati dalam
memahaminya. Dengan demikian, petunjuk akan nilai-nilai kebenaran sejati dapat
dipahami dan bahkan ditulis ulang menurut budaya dan bahasa dari bangsa manusia
itu berasal. Wajar jika kemudian ditemukan nilai-nilai yang serupa tersebar di
berbagai belahan dunia dalam bentuknya masing-masing.
Kisah-kisah yang senapas dengan Abraham atau Brahma dapat
dijumpai dalan beberapa literatur bangsa-bangsa yang memiliki peradaban maju
pada masa lampau. Ilmu dan kebijaksanaan dalam membaca sejarah dan menatap masa
depan kehidupan umat manusia menjadi salah satu kelebihan yang juga Allah
anugrahan kepada manusia yang mempergunakan akal pikirannya.
Menatap masa depan atau melihat suatu peristiwa yang belum
terjadi (ghaib) juga menjadi hal yang lumrah dilakukan oleh para leluhur bangsa
Nusantara yang sudah sejak lama mengenal Abraham dalam penamaan Brahma, Brahman
atau Bromo. Para leluhur tersebut dalam historiografi Nusantara disebutkan di
antaranya; Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabaya (Raja Kediri; abad XII), Sabda
Palon-Naya Genggong (abad XV), dan Prabu Siliwangi alias Sri Baduga Maharaja
Jayadewata (Raja Pajajaran Nagara; abad XVI). Ketiga tokoh tersebut disebutkan
sebagai tokoh sentral dalam kitab Musasar Jayabaya, Serat Darmagandhul, dan Uga
Wangsit Siliwangi.
Bacaan masa depan dari para leluhur Nusantara itu sudah
banyak ditafsirkan dan ditarik kesimpulannya sesuai dengan kepentingan suku,
agama, ras, dan golongannya masing-masing. Meskipun demikian, keseluruhan
ramalan tersebut secara garis besar menceritakan degradasi perjalanan kehidupan
bangsa Nusantara sejak invasi bangsa Mongol, kolonisasi bangsa barat, dan
pergantian kepemimpinan nasional yang zalim hingga munculnya satrio Piningit,
Ratu Adil, Budak Angon, Satrio Pinandito Sinisihan Wahyu-atau apa pun
sebutannya-untuk membebaskan bangsa Nusantara dari perbudakan negara-negara
bangsa yang datang silih berganti.
Penglihatan atau mimpi para leluhur tentang kejayaan kembali
Nusantara sebagai mercusuar dunia tidak lahir dari ruang yang hampa. Sejarah panjang
yang membentuk demografi dan geopolitik Nusantara memiliki porsi yang besar
dalam mengondisikan Nusantara sebagai wilayah yang paling berpotensi dan layak
menjadi tempat berlakunya sistem hukum Allah, Tuan Semesta Alam. Berdirinya
entitas kekuasaan yang berdasarkan hukum kebenaran universal yang akan
menyudahi segala bentuk penjajahan dan kezaliman di muka bumi.
Satu bentuk kekuasaan politik yang berdaulat-negara,
kerajaan, keratuan (keraton), kesultanan, kingdom, atau khilafah-menjadi
wajib keberadaannya ketika sekelompok manusia ingin mewujudkan mimpinya bersama.
Sejak masa revolusi agraria pada 12.000 tahun lalu yang membawa manusia-manusia
bijak kepada masa-masa pembentukan civilization-setelah masa-masa
hunting and gathering, sistem sosial politik yang kompleks dipandang urgensinya.
Nusantara, negara kepulauan atau negara maritim, sejak
sebelum Indonesia lahir, memiliki peradaban yang adiluhug. Kerajaan-kerajaan
yang berjajar dari ujung timur hingga ujung barat berkumpul dalam satu imperium
yang sungguh disegani masyrakat dunia kala itu. Bentuk negara dan pemerintahan
bisa jadi berubah-ubah menyesuaikan zaman dan bangsanya, tetapi satu format Keratuan
(pemerintahan) yang adil dan Ratu Adil wajib adanya.
Kiranya, satu tujuan atau mimpi besar tidak akan dapat
terwujud apabila tidak dikerjakan oleh manusia-manusia yang memiliki tekad yang
besar pula. Mimpi yang besar itu, hingga hari ini salah satunya, masih tersirat
pada gelar Kerajaan Islam Mataram, yakni Khalifatullah ing tanah Jawa
atau lebih lengkapnya bergelar Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sunuwun
Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Adburrahman Sayidin
Panatagama Khilafatullah Ingkang Jumeweng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Secara bebebas gelar itu dapat diartikan sebari berikut:
Ngarsa Dalem, yang dijanjikan junjungan, pemuka atau pembesar, Sampeyan
Dalem, yang diikuti langkahnya, dijadikan teladan; Ingkang Sunuwun,
yang dimuliakan, dimohonkan jasa baiknya; Kanjeng, yang dihormati; Sultan,
penguasa Hamengku Buwono, mengedepankan kepentingan orang lain daripada
diri sendiri, lebih banyak memberi manfaat daripada meminta; Senapati-Ing-Ngalaga,
panglima besar jihad melawan keterbelakangan, kebodohan, dan kezaliman; Ngabdurrachman,
hamba Tuan yang Maha Pengasih yang semua tugas dilakukan sebagai pengabdian
kepada-Nya; Sayyidin panatagama, bendara, penghulu, pembesar (yang
dipertuan Agung) dalam menata kehidupan budi pekerti; Khilafatullah,
wakil (petugas) Allah yang mengemban amanat-Nya; Ing Ngayogyakarata,
ditempat Suci yang terhormat, wibawa dan mulia serta penuh sejahtera; dan Hadiningrat,
yang indah penuh berkat dan rahmat Yang Mahakuasa.
Kendati demikian apalah arti dan pengaruh gelar kebesaran
bagi seorang raja yang tak bermahkota dan berdaulat dalam mewujudkan kehidupan gemah
ripah loh jinawi tata tenterem kerta raharja?
F. F. Penutup
Ideologi, apa pun itu, membutuhkan para pengusung untuk
meletakkannya di dasar wadah kekuasaan yang berdaulat. Demikianlah yang dahulu
Abaraham dan keturunan-keturunannya lakukan di Timur Tengah, membangun sebuah
kerajaan atau Khilafah yang dapat menampung dan menegakkan ide-ide ilahiyah
yang diaykininya. Dalam perjalanannya, kerajaan-kerajaan itu timbul tenggelam,
silih berganti dengan kerajaan-kerajaan manusia. Pernah, pada satu masa
kerajaan yang menegakkan hukum-hukum kebenaran Tuhan Yang Maha Esa itu singgah
dan jalan beriringan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara tanpa ada Paksaan
dan peperangan.
Sudah menjadi Karakter Millah Abraham bahwa dalam mewartakan
visi misinya, ia tak pernah, memaksakan aqidah yang diyakininya. Iman adalah
hak preogratif Sang Pencipta. Millah Abraham hanya mengajak manusia untuk
menegakkan sistem hidup dan kehidupan yang satu, yaitu tegaknya hukum Tuhan di
muka bumi untuk menjamin kedamaian dan kesejahteraan semesta, kehidupan
adihulung di buana.
Demikianlah, tanda-tanda alam semakin menegaskan bahwa waktu
kebangkitannya sudah dekat, sudah di ambang pintu. Akan ada kelaparan dan gempa
bumi diberbagai tempat, tetapi anak-anak Nusantara harus bahu-membahu
membanguan kerajaan-Nya. Biarkanlah bangsa bangkit melawan bangsa, tetapi
anak-anak Nusantara harus bersatu-padu mempersiapkan kedatangan Sang Ratu Adil.
Tentang hari itu, tidak seorang pun yang tahu. Sebab kita
tidak tahu bilakah waktu kedatangan-Nya. Olehnya itu, berhati-hatilah dan
berjaga-jagalah! Jangan sampai ketika Dia datang, kita sedang tidur terlelap
atau mabuk duniawi sehingga tergerus gelap.
Rahayu Sagung Dumadi.