Cerita Musa dengan segala mukjizatiah yang dimilikinya telah menjadi kisah yang sebatas dongeng tanpa ada nilai pelajaran untuk dapat di contoh dalam kondisi kekinian. Dan hanya sedikit orang yang mengkritisi kejadian demi kejadian dibalik kisah Musa dengan segala kelebihan yang ada padanya. Terlalu lama kita dinina bobokan oleh cerita yang tidak rasional dan celakanya para ahli sejarah telah sepakat dengan ini semua.
Penegasan Kitab Suci Al-Qur'an yang mengatakan, bahwa kisah-kisah mereka (sejarah orang-orang sebelum kita) harus mampu menjelaskan dan menjadi petunjuk serta Rahmat bagi kaum yang beriman, adalah sesuatu yang bersifat alamiah dalam kehidupan ini (Surat Yusuf ayat 111). Ketika orang tua mengajarkan anak atau cucunya dengan pengalaman hidup yang dialaminya, bukankah itu sesuatu yang wajar dan biasa saja?. Lalu bagaimana kita bisa mencontoh perilaku Nabi Musa, jika apa yang dilakukannya diluar kemampuan manusia pada umumnya?.
Sekali lagi alasan bahwa Para Nabi dan Rasul adalah manusia istimewa, dan tidak akan bisa kita disejajarkan dengannya menjadi alasan para ahli sejarah menutupi kebenaran yang sesungguhnya. Inilah kebodohan spiritual yang sengaja dibiarkan dan di tumbuh suburkan dalam pemahaman mayoritas umat beragama. Pertanyaannya, mengapa mereka melakukan hal demikian, adakah kepentingan besar dibalik ini semua?. Apakah warta utama Musa dan hubungannya dengan kemampuan luar biasa yang dimilikinya?. Bisakah kita menduplikasi apa yang sudah dilakukan Musa dan para pengikutnya? ..
Ketiga pertanyaan diatas, haruslah dijawab dengan pikiran yang jernih tanpa dicampuri kepentingan diluar skenario Sang Pencipta. Baik kita akan menjawab satu persatu dari pertanyaan tersebut, pertama, semua manusia pada dasarnya ingin selalu menjadi kaum yang berkuasa, dan tidak menginginkan hidupnya menjadi kaum yang ditindas atau diperbudak oleh bangsa-bangsa. Sehingga berbagai cara mereka lakukan untuk menutupi keaslian dari kisah para pendahulunya. Inilah yang terjadi pada umat beragama.
Kedua, warta utama Musa kepada Bangsa Mesir pada waktu itu adalah mengajak mereka untuk mengabdi kepada satu Tuhan, yakni Allahnya Ibrahim, Tuhan Semesta Alam. Dan meninggal bentuk pengabdian selain kepada-Nya. Kalau yang diserukan Musa pada waktu itu adalah sekedar penyembahan, maka Fir'aun tidak akan marah. Tetapi konteks pengabdian disini adalah menjadikan aturan Tuhan Semesta Alam sebagai satu-satunya aturan yang harus dijadikan petunjuk dalam kehidupan. Hal inilah yang membuatnya melakukan kezaliman terhadap Musa dan para pengikutnya. Karena baginya aturan yang ditaati pada saat itu adalah hasil konsesus manusia. dan semuanya harus taat dengan keberadaan dirinya.
Adapun hubungan kemampuan mukjizatiah yang ada padanya, dengan warta utama yang disampaikan adalah kemampuannya dalam menjelaskan konsep kebenaran yang ada dalam Kitab Suci sebagai petunjuk bagi kehidupan manusia (Tongkat yang menjadi ular besar) dan tidak terbantahkan oleh konsep apapun yang datang dari hasil konsesus bangsa-bangsa (tongkat-tongkat yang menjadi ular-ular kecil), semua konsep yang datang dari Ahli sihir (pikir) nya Fir’aun mampu ditelan atau dikalahkan oleh konsep kebenaran yang dibawa oleh Musa. Dengan konsep kebenaran inilah kemudian lautan manusia menjadi terbelah (ada yang pro ke Timur/Persia dan ada yang pro ke Barat/Romawi).
Ketiga, dari jawaban pertama dan kedua sebelumnya, maka pasti mudah menemukan jawabannya. Bahwa warta utama Musa adalah menyerukan bangsanya untuk kembali menjadikan Tuhan Semesta Alam sebagai sumber ketaatan dan kepatuhan dalam kehidupan. Kemudian menjadikan petunjuk (konsep kebenaran) sebagai alat untuk merealisasikannya, maka sudah dipastikan kita bisa mencontohnya.
Sebagai
kesimpulan dari tulisan ini adalah, bahwa ajaran yang dibawa Nabi Musa tidak
bergeser sedikitpun dari pelajaran yang diwariskan orangtuanya, Ibrahim, Ishaq
dan Yaqub. Untuk lebih meyakinkan kita mari renungkan firman Allah dibawah ini:
وَقَا لَ مُوْسٰى يٰقَوْمِ اِنْ كُنْتُمْ اٰمَنْتُمْ بِا للّٰهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْاۤ اِنْ كُنْتُمْ مُّسْلِمِيْنَ
"Dan
Musa berkata, "Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, maka
bertawakallah kepada-Nya jika kamu benar-benar orang muslim (berserah
diri)."
(QS.
Yunus 10: Ayat 84).
Penulis:
Michael
Zahid Aditiya